Soeprapto adalah seorang Jaksa Agung pada yang terkenal tegas dan terpuji. Ia
menjabat sebagai jaksa agung tahun 1951 hingga 1959.
Soeprapto lahir di Trenggalek,
Jawa Timur, 27 Maret 1897 dengan ayah seorang Controlleur pajak di Trenggalek,
Jawa Timur. Kemudian, Soeprpato menamatkan ELS (Europesche Lagere School) pada
tahun 1914 dan melanjutkan studi ke Sekolah Hakim di Batavia, selesai tahun1920
bersama dengan Wongsonegoro, Isqak, dan Mas Soemardi.
Setelah lulus, ia ditempatkan di
Landraaad (Pengadilan untuk kaum Bumi Putera) di Tulungagung dan Trenggalek.
Kemudian ia di pindahkan ke berbagai kota seperti, Surabaya, Semarang, Demak,
Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar sampai Mataram (Pulau
Lombok). Dalam rentang tahun 1937-1941 hakim Soeprapto menjabat Kepala Landraad
Cheribon-Kuningan, dilanjutkan ke Salatiga-Boyolali, dan ke Banyuwangi menjadi
pengawas hukum di Karesidenan Besuki. Ketika Jepang datang pada bulan Maret
1942, Soeprapto menjabat Kepala Pengadilan Karesidenan Pekalongan.
Ketika agresi Belanda pada tahun 1947,
Hakim Soeprapto sebagai Republikien memilih mengungsi ke
daerah Selatan Pekalongan.
Sebagai hakim yang patuh pada tugasnya, dalam
mengungsi-pun yang terpikir pertama, bukan menyelamatkan mobil atau hartanya.
Dengan tergesa-gesa, pak hakim ini mengungsi bersama keluarga hanya membawa dua
kopor pakaian serta Kutil si terpidana mati.
“Malahan Kutil ikut mengungsi bersama kami,” tutur Ny.
Soeprapto yang kini telah berusia 80 tahun. Kutil dan anak buahnya, yang
semuanya berstatus tahanan, ikut membawakan kopor yang sebenarnya berisi berkas
perkara dia sendiri.
“Anak-anak saya pun ikut digendong dan tidak
menunjukkan dendam pada Soeprapto, hakim yang memutus dia dihukum
mati. Padahal saya was-was juga, apalagi zaman perang,” kenang Ny. Soeprapto.
Pekalongan yang rusuh, pengungsian dan kekhawatiran
merupakan hari-hari yang mencekam bagi keluarga
Soeprapto. Soeprapto sendiri kembali bertanya-tanya, ketika mendengar
Kutil yang telah dijatuhi hukuman mati itu melarikan
diri. Soeprapto lega, ketika diminta menjadi saksi atau diulang
kembali pengadilan Kutil. Terpidana ini telah ditemukan kembali.
Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia
dan pindah ibukota ke Yogyakarta hingga memperoleh kedaulatan
pada 27 Desember 1949, Soeprapto tetap bekerja di pengadilan
Keresidenan Pekalongan.Hingga Indonesia kembali lagi ke Jakarta pada tahun
1950 yang sejak 1920 berkarier di kehakiman, mulai memasuki kamar penuntut
umum. Atas jasa-jasa dan perjuangannya menegakkan citra kejaksaan, R. Soeprapto
ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Republik Indonesia. Patungnya
kini tegak berdiri di halaman depan Gedung Kejaksaan Agung, di Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. Jaksa Agung R. Soeprapto diberhentikan dengan hormat
oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 1 April 1959.
Soeprapto memiliki dedikasi tinggi, cerdas, tekun, dan ulet, tidak ada dalam kamus Soeprapto untuk
mempolitikkan jabatannya, demi ideologi atau kepentingan apapun selain
Pancasila dan UUD yang berlaku (UUD-S 1950). R. Soeprapto dengan watak
kebapakannya, telah memberikan sebagain besar perjalanan usianya untuk
penegakan hukum di negeri ini. Ia buktikan dari tahun 1920 sampai 1958, dalam
zaman kolonial, pendudukan militer Jepang dan RI dalam berbagai cuaca politik
yang sering berganti. R. Soeprapto, akhirnya menutup mata pada tanggal 2
Desember 1964 diJakarta, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Posting Komentar