Setiap orang memiliki sisi kehidupan yang unik. pada diri seseorang ada kelebihan dan kekurangannya, demikian pula Dr. Basyir Ahmad, Walikota Pekalongan.
Kali ini Kotapekalongan.net akan menuliskan tentang Dr. H.M. Basyir Ahmad dari sisi yang lain, semoga kita bisa belajar darinya. Tulisan ini bersumber dari tulisan yang ada di Tabloid Cempaka, edisi 47-XXI-19-25 Feb 2011. Wartawan Cempaka, Fikri menyampaikan kesaksiannya :
Saya tak ingin memberikan penilaian untuk Walikota Pekalongan dr. H. Mohammad Basyir Ahmad.
Tetapi, hanya ingin menyampaikan apa yang saya saksikan selama menempel Basyir lebih dari 16 jam. Kesaksian saya mulai saat tiba di kediamannya, jum'at (11/02/2011) pukul 19.00. Saat itu saya menemui kenyataan diluar dugaan. Betapa tidak? Jika Anda membayangkan rumah dinas/pribadi walikota/bupati yang megah, akan kecengir. Rumah Basyir jauh dari mewah. Dia mendiami rumah kuno yang dibangun tahun 1938, tanpa pagar, tanpa penjagaan ketat, semua orang bisa masuk. Malam itu rumah Basyir ramai pasien. Dia memang sedang berpraktek.
Di bagian belakang rumah, tempat Basyir menerima Tim Sehari Bersama, kesederhanaan itu semakin menyergap. Sama sekali tak ada kemewahan. Yang menandakan itu rumah walikota hanyalah dua foto Basyir. Satu sedang bersalaman dengan Presiden SBY, satu lagi dengan Wakil Presiden Yusuf Kalla. Rumah dinas yang disediakan untuknya, tak dia diami. "Saya lebih nyaman di rumah pribadi. Masyarakat lebih mudah kalau butuh ketemu saya," katanya.
Ketika pejabat ditempat lain menuntut mobil dinas baru, Basyir malah tak menuntut mobil dinas baru, Basir malah tak mau ganti. "Saya sudah cukup dengan mobil ini," katanya menunjuk mobil dinasnya, Toyota Corona Tahun 1996.
Ketika pejabat lain gemar dikawal saat bepergian, alumnus Fakultas Kedokteran Undip Tahun 1981 ini, malah tak suka. Bayangkan! Di bagi subuh, dia naik sepeda tua ke Masjid hanya di dampingi seorang teman berusia 65 tahun. Memang, jarak antara rumahnya dengan Masjid hanya 300 meter.
Tapi, harap tahu masjid itu dekat alun-alun Kota, tempat berkumpul orang dengan beragam kepentingan dan perilaku.
Sekembali dari sholat subuh, Basyir langsung mengajak ngobrol. Teh jahe hangat dan kacang goreng terhidang di meja kerjanya di serambi belakang rumahnya. "Ini kacang goreng dan Teh jahe buatan ibu saya. Saya tiap pagi mengonsumsinya," kata suami dari Hj. Balqis Diab, SE S.Ag, MM ini.
Ibu, ya, ibu. Basyir sangat hormat pada ibunya. Aminah Basalamah (81). "Sejak dulu, saya tidak pernah mengatakan tidak kepada ibu saya. Apapun saran dari ibu, tentu saja baek dan berfaedah, saya selalu mengiyakannya. Bagi saya beliau adalah jimat yang selalu memberikan semangat dalam hidup saya," kata ayah dari empat anak ini.
Dan rasa-rasanya tak salah jika dia sangat menghormati ibunya yang biasa dia sapa Umi. Ibu satu ini memang luar biasa. Bukan hanya dalam hal mendidik dan membesarkan anaknya. Dalam hal menjalani hidup dan kehidupan pun Aminah sungguh menakjubkan. Dia disiplin, masih bugar, sehat lahir batin. Dalam usianya itu, Aminah masih memanajeri 2 apotik milik keluarga. Perhatian sang ibu pada Basyir sejak kecil hinggi kini susah diukur. Tiap pagi Aminah masih membuatkan Basyir ramuan Madu plus jinten hitam. Juga susu, madu dan telur ayam Arab untuk sarapan Basyir.
Di Kantor, kesedrhanaan Basyir dan sikap terbuka serta bersahabtanya sangat nyata. Di ruang kerjanya yang luas, siapa pun dia terima jika butuh ketemu. Di dalam ruang kerjanya itu, terdapat meja khusus walikota. Tapi dia lebih suka menggunakan meja bundar. "Meja itu terlalu formal. Saya lebih memilih meja bundar ini. Di meja bundar ini, saya tak menciptakan jarak dengan anak buah saya. Semua sejajar," imbuh dia.
Di masyarakat Basyir juga tak membuat jarak. Ketika mengkhitan 55 bocah di khitanan masal, dia berbaur total dengan warganya. Dia menyapa semua orang.
Jika basyir bisa menjalani hidup penuh kesederhanaan, bisa bersahabat dengan semua orang dari berbagai lapisan masyarakat, lalu kenapa pejabat yang lain tidak? Adakah perbedaan antara seorang walikota/bupati dengan warganya sehingga merasa perlu bikin jarak? Jika pun ada perbedaan, benar perlukah jarak itu dibikin? Tidakkah lebih baik jarak itu dibongkar, dihapus, sehingga hubungan antara masyarakat dengan pemimpinnya bisa baik. Basyir telah melakukannya dengan baik. Dia menghapus jarak, lalu mendekat, dekat sekali dengan warganya, nyaris tanpa menggunakan atribut pejabat. Karena itu susah membedakan kapan Basyir berposisi sebagai walikota, kapan menjadi dokter, kapan menjadi rakyat biasa, juga kapan menjadi kepala keluarga. Keempat peran itu menyatu dalam kesehariannya.
"Saya ingin beramal dan bermanfaat sebanyaknya untuk masyarakat," katanya. "Dengan begitu, insya Allah, semua yang saya lakukan akan barokah," imbuh dia yang menerapkan manajemen Barokah dalam memimpin Kota Pekalongan. Basyir, begitulah dia. (Fikri)
Belajar dari sosok walikota Pekalongan, maka benar kata orang bijak, bahwa seorang pemimpin adalah teladan. Ia menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnnya. Sudahkah kita menjadi teladan bagi keluarga kita? atau sudahkah kita menjadi teladan bagi diri kita sendiri?
Posting Komentar